Menjawab yang Bertanya: Mengapa Baca Kitab Kuning Diperlombakan?

HumasUIN – Dalam tradisi keilmuan Islam, membaca bukan sekadar kegiatan mengenali teks, melainkan juga upaya mendalam untuk memahami makna, menggali hikmah, dan meneruskan warisan intelektual ulama terdahulu. Hal ini tercermin dalam kegiatan Musabaqah Qira’atul Kutub (MQK) yang secara rutin diselenggarakan oleh Kementerian Agama RI dan pada tahun ini diselenggarakan secara internasional di Pondok Pesantren As’adiyah, Wajo, Sulawesi Selatan (1-7 Oktober 2025).

MQK bukan hanya ajang perlombaan membaca kitab kuning, tetapi lebih dari itu, ia adalah wadah untuk menumbuhkan budaya literasi keagamaan yang mendalam dan kontekstual. Di sinilah pentingnya membedakan antara sekadar membaca dan memahami secara substansial isi dari kitab-kitab turats yang sarat makna dan nilai.

Kitab kuning yang dibaca dalam MQK bukanlah teks biasa. Ditulis dalam bahasa Arab klasik, tanpa harakat, dan penuh istilah fiqh, ushul fiqh, tafsir, tasawuf, hingga balaghah, kitab-kitab tersebut menuntut kecermatan dan pemahaman yang tinggi. Maka dari itu, para santri yang mengikuti MQK tidak cukup hanya pandai membaca dengan lancar, tetapi juga harus memahami isi, konteks, dan makna dari setiap baris yang mereka baca. Ini menegaskan bahwa proses membaca dalam MQK adalah awal dari sebuah perjalanan menuju pemahaman yang utuh dan aplikatif terhadap ajaran Islam.

Dalam konteks ini, membaca menjadi sebuah keterampilan dasar yang sangat penting. Tanpa kemampuan membaca yang baik, seorang santri tidak akan mampu menjangkau pesan yang tersimpan dalam lembaran kitab. Namun, kegiatan membaca dalam MQK juga menuntut lebih dari sekadar kemampuan fonetik; ia menuntut pemahaman gramatikal, historis, bahkan filosofis. Seorang peserta harus mampu menafsirkan, menjelaskan, dan terkadang mengkritisi isi kitab yang dibaca, sehingga tercipta proses berpikir aktif dan reflektif.

Melalui MQK, kita dapat melihat betapa kuat hubungan antara membaca dan memahami. Kegiatan ini menjadi semacam “laboratorium intelektual” di mana para santri diuji untuk menunjukkan bahwa mereka tidak hanya bisa membaca, tetapi juga menghidupkan kembali makna-makna klasik dalam konteks kekinian. Misalnya, dalam membaca kitab fiqh, mereka ditantang untuk memahami bagaimana hukum-hukum tersebut bisa diterapkan dalam masyarakat modern. Maka, pemahaman menjadi kunci utama agar teks tidak mati dan terasing dari realitas.

Lebih dari itu, MQK menjadi momentum penting untuk mengokohkan budaya literasi pesantren. Di saat generasi muda semakin terbiasa dengan bacaan digital yang serba cepat dan dangkal, MQK hadir sebagai ruang yang menegaskan pentingnya membaca secara mendalam, teliti, dan kontekstual. Para peserta MQK belajar bahwa membaca kitab bukan hanya urusan lomba, tetapi sebuah bentuk tanggung jawab intelektual dan spiritual dalam menjaga tradisi keilmuan Islam.

Secara argumentatif, MQK menunjukkan bahwa proses membaca yang serius akan mengarah pada pemahaman yang menyeluruh, dan pada akhirnya melahirkan sikap kritis dan bijak. Santri yang terlatih dalam MQK terbiasa berdiskusi, membandingkan pendapat ulama, dan mencari solusi atas persoalan kekinian dengan merujuk pada khazanah klasik. Inilah bentuk pemahaman sejati: ketika bacaan tidak berhenti di permukaan, tetapi mampu membentuk cara berpikir dan bertindak.

Kementerian Agama sebagai penyelenggara MQK patut diapresiasi karena telah mempertahankan tradisi ilmiah ini. MQK bukan hanya sarana seleksi kecerdasan, tetapi juga alat pembinaan karakter melalui literasi. Peserta MQK dituntut untuk sabar, teliti, dan terbuka terhadap ragam pemikiran. Ini adalah karakter-karakter penting dalam membangun masyarakat yang berpengetahuan dan toleran. Membaca, dalam konteks MQK, bukan hanya keterampilan teknis, tetapi juga proses pembentukan nilai.

Dengan demikian, MQK memberi pelajaran penting kepada kita semua: bahwa membaca tidak akan pernah cukup tanpa disertai pemahaman. Sebaliknya, pemahaman hanya bisa dicapai melalui proses membaca yang sungguh-sungguh dan berulang-ulang. MQK menanamkan prinsip bahwa teks-teks klasik Islam bukan untuk sekadar dikagumi atau dihafalkan, tetapi untuk dipahami, dihayati, dan dijadikan rujukan dalam menghadapi tantangan zaman.

Akhirnya, MQK bukan hanya tentang siapa yang paling fasih membaca kitab, tetapi tentang siapa yang paling mampu menghidupkan isi kitab dalam kehidupan nyata. Di sinilah letak esensi dari membaca dan memahami: bahwa keduanya adalah jalan menuju pembentukan generasi muslim yang intelektual, moderat, dan berakar kuat pada tradisi ilmiah Islam. Sebuah warisan yang tidak hanya untuk dikenang, tetapi terus ditumbuhkan.

Oleh M. Ishom el Saha (Rektor UIN SMH Banten)


Jl. Jendral Sudirman No. 30
Ciceri, Kota Serang, Provinsi Banten,
Indonesia 42118

Jl. Syech Nawawi Al-Bantani
Curug, Kota Serang, Provinsi Banten
Indonesia 4217

Jl. Jend. Sudirman No.227,
Sumurpecung, Kec. Serang, Kota
Serang, Provinsi Banten Indonesia
42118

 Hak Cipta 2025 – UIN Sultan Maulana Hasanuddin Banten

Email : surat@uinbanten.ac.id No. Tlp : (0254) 200 323