M. Ishom el Saha
Menteri Agama, Nasaruddin Umar membagikan secara simbolis buku Kurikulum Berbasis Cinta kepada guru-guru di Makassar (24/07/25). Itu berarti kurikulum cinta bukan sebatas ide dan wacana akan tetapi sudah dapat “dibumikan” untuk masyarakat secara luas.
Gerak cepat Kementerian Agama (Kemenag RI) menggawangi kurikulum cinta yang digagas oleh Menteri Agama patut diapresiasi semua pihak. Pasalnya, di tengah disrupsi informasi masyarakat akan selalu disuguhi isu-isu intoleransi dan konflik sosial.
Kementerian Komunikasi dan Informatika (2023) telah merilis data bahwa sekitar 62% pengguna media sosial di Indonesia aktif berdiskusi tentang isu-isu agama dan politik. Isu agama menjadi salah satu tema paling populer di platform-platform digital. Sisi positifnya masyarakat lebih dekat dengan norma agama, akan tetapi sisi negatifnya masyarakat juga akan lebih reaktif di dalam merespons isu agama.
Beberapa insiden perusakan rumah doa oleh masyarakat sebagaimana yang terjadi di Sukabumi dan Padang dalam waktu-waktu terakhir ini adalah contoh konkretnya. Termasuk insiden bentrokan berdarah antara 2 Ormas berbeda di Pemalang merupakan bagian dari dampak distrupsi informasi yang membahayakan kerukunan beragama dan bermasyarakat.
Di tengah derasnya arus informasi dan polarisasi sosial, intoleransi menjelma sebagai tantangan besar dalam dunia pendidikan Indonesia. Fenomena ini bukan hanya terjadi di ruang maya, tapi juga merembes ke ruang kelas, ruang kajian, aula pengajian, bahkan ke hati dan pikiran generasi muda.
Ketika rasa empati tergerus, maka pendidikan perlu hadir bukan sekadar sebagai pengantar ilmu, melainkan juga sebagai penumbuh cinta—cinta pada sesama, pada perbedaan, dan pada kemanusiaan.
Konsep kurikulum cinta mengemuka sebagai respons terhadap kebutuhan akan pendidikan yang lebih berkarakter dan holistik. Kurikulum ini bukan dimaknai sebagai romantisasi nilai-nilai abstrak, tetapi sebagai sistem pendidikan yang mengakar pada penghargaan terhadap sesama, kepedulian sosial, serta semangat hidup berdampingan secara damai.
Kurikulum cinta mengajak kita untuk melihat perbedaan bukan sebagai ancaman, melainkan sebagai kekayaan. Dalam konteks ini, cinta bukan hanya soal perasaan, tetapi tindakan nyata: menghargai teman berbeda agama, berdiskusi tanpa merendahkan, dan terbuka terhadap ragam perspektif.
Pada prinsipnya Intoleransi kerap tumbuh bukan karena kebencian yang ditanam, tetapi karena cinta yang tak pernah diajarkan. Sedari kecil banyak di antara kita yang tidak dibimbing untuk memahami emosi orang lain. Padahal itu dasar dari toleransi.
Pendidikan yang mengembangkan empati dan cinta kasih akan membentuk individu dengan kecerdasan emosional yang baik. Apabila kita terbiasa diajak memahami orang lain sejak dini maka akan tumbuh menjadi pribadi toleran.
Dalam laporan UNESCO tahun 2022, disebutkan bahwa pendidikan berbasis kasih sayang (compassion-based education) terbukti meningkatkan toleransi antaragama di lingkungan sekolah multikultural. Indonesia, sebagai negara dengan keragaman luar biasa, seharusnya menjadi pelopor dalam hal ini.
Kurikulum cinta tidak harus menjadi mata pelajaran tersendiri. Ia bisa menyusup ke dalam kegiatan harian: diskusi kelas yang adil, kebijakan sekolah tanpa diskriminasi, hingga pembiasaan menyapa dan mendengarkan. Semua dimulai dari hal-hal kecil yang berulang.
Di tengah jaman yang cepat dan mudah marah ini, kurikulum cinta adalah napas panjang. Ia mengajarkan generasi muda Indonesia untuk menjadi manusia sebelum menjadi ilmuwan, untuk peduli sebelum cerdas. Jika cinta diajarkan sejak dini, maka toleransi bukan lagi sekadar slogan, melainkan budaya hidup yang mendarah daging.