HumasUIN – Pusat Kerukunan Umat Beragama (PKUB) Kementerian Agama Republik Indonesia menyelenggarakan kegiatan Diseminasi Outlook Kerukunan Umat Beragama 2026 sebagai bagian dari strategi nasional dalam memperkuat harmoni sosial-keagamaan. Kegiatan ini dilaksanakan untuk merespons dinamika sosial, politik, dan teknologi yang semakin kompleks serta berpotensi memengaruhi hubungan antarumat beragama di Indonesia.
Kegiatan diseminasi tersebut merupakan tindak lanjut dari hasil Rapat Kerja Kementerian Agama Republik Indonesia. Salah satu rekomendasi utama rapat kerja tersebut adalah perlunya langkah sistematis dalam mempersiapkan umat beragama, khususnya umat Islam sebagai kelompok mayoritas, agar mampu menghadapi tantangan masa depan secara moderat, inklusif, dan berorientasi pada perdamaian.
Kepala PKUB Kemenag RI, Muhammad Adib Abdussomad, menjelaskan bahwa outlook kerukunan umat beragama disusun sebagai instrumen kebijakan berbasis data dan analisis sosial. Dokumen ini diharapkan dapat menjadi rujukan bagi pemerintah pusat, pemerintah daerah, serta pemangku kepentingan lainnya dalam merumuskan program penguatan kerukunan yang berkelanjutan.

Diseminasi ini melibatkan berbagai pemangku kepentingan strategis yang memiliki peran langsung dalam menjaga stabilitas sosial-keagamaan. Peserta yang hadir meliputi rektor Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri (PTKIN), pengurus Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB), penyuluh agama, serta perwakilan komunitas lintas iman dari berbagai daerah di Indonesia.
Selain itu, kegiatan ini menghadirkan sejumlah narasumber nasional yang memiliki kompetensi dan pengalaman dalam bidang kebijakan keagamaan. Narasumber tersebut antara lain Sekretaris Jenderal Kementerian Agama RI Kamaruddin Amin, Staf Khusus Menteri Agama Ismail Cawedu, serta Penasihat Menteri Agama Komarudin Hidayat.
Dalam paparannya, Kamaruddin Amin menegaskan bahwa Indonesia merupakan negara dengan tingkat kemajemukan yang sangat tinggi, baik dari segi agama, budaya, maupun etnis. Kondisi ini menuntut adanya manajemen kerukunan yang sistematis, termasuk penguatan mekanisme deteksi dini terhadap potensi konflik sosial berbasis keagamaan.
Lebih lanjut, Kamaruddin menekankan bahwa upaya membangun kerukunan umat beragama harus menghasilkan dampak nyata di tengah masyarakat. Menurutnya, diskursus teologis semata tidak cukup, melainkan perlu diterjemahkan ke dalam aksi sosial yang mendorong keadilan, solidaritas, dan kerja sama lintas iman.
Sementara itu, Ismail Cawedu menyoroti tantangan baru kerukunan beragama di era digital. Ia menjelaskan bahwa rendahnya literasi digital masyarakat menjadi faktor signifikan dalam meningkatnya potensi konflik, khususnya akibat penyebaran misinformation dan disinformasi yang berkaitan dengan isu keagamaan.
Ismail menambahkan bahwa meskipun masyarakat semakin akrab dengan teknologi digital dan media sosial, tidak semua pengguna memiliki kemampuan kritis dalam memilah informasi. Kemunculan teknologi kecerdasan buatan, termasuk manipulasi gambar dan video, semakin memperbesar risiko kesalahpahaman yang dapat memicu ketegangan antarumat beragama.
Dalam perspektif yang lebih reflektif, Komarudin Hidayat menekankan pentingnya pemahaman terhadap keragaman budaya dan tradisi sebagai bagian integral dari identitas bangsa Indonesia. Ia menyebutkan bahwa Indonesia termasuk tiga besar negara di dunia dengan tingkat ketaatan beragama tertinggi, sehingga nilai toleransi dan kerukunan harus terus dirawat melalui pendidikan dan keteladanan tokoh agama.

Menjelang akhir tahun 2025, PKUB Kementerian Agama mengajak seluruh elemen masyarakat menjadikan momentum pergantian tahun sebagai refleksi bersama. Kerukunan umat beragama dipandang sebagai modal sosial paling berharga bagi bangsa Indonesia, yang menjadi fondasi persatuan, kedamaian, dan pembangunan nasional. Tanpa kerukunan, kemajuan bangsa akan sulit dicapai, sehingga menjaga harmoni antarumat beragama merupakan tanggung jawab kolektif seluruh warga negara.