HumasUIN – Perkembangan filsafat hukum Islam modern menunjukkan dinamika yang signifikan setelah formulasi klasik Maqāṣid al-Syarī‘ah. Meskipun maqasid klasik telah memberikan kerangka normatif yang penting, perubahan sosial, politik, dan teknologi menuntut perluasan pendekatan agar hukum Islam tetap relevan. Oleh karena itu, muncul sejumlah teori baru yang berupaya merekonstruksi tujuan syariat secara lebih komprehensif dan kontekstual.
Gagasan Maqāṣid kontemporer merupakan salah satu arus utama dalam pembaruan tersebut. Tokoh seperti Ibn ‘Ashur, Jasser Auda, dan Yusuf al-Qaradawi menempatkan maqasid sebagai basis etis dan sosial yang bersifat multidimensi. Mereka menekankan bahwa maqasid tidak hanya berfungsi untuk melindungi hak individu, tetapi juga memastikan tatanan sosial yang adil dan berkelanjutan.
Jasser Auda, melalui pendekatan sistemnya, memperluas pemahaman maqasid dengan memandang syariat sebagai entitas yang terbuka dan adaptif. Dengan demikian, maqasid dipahami sebagai prinsip yang mengalami perkembangan seiring dinamika masyarakat, bukan sebagai formulasi final yang tertutup.
Sejalan dengan itu, teori maslahat kontemporer juga memainkan peran penting dalam perumusan hukum Islam modern. Pendekatan ini menaruh fokus pada kepentingan publik, kebijakan negara, dan tantangan global sebagai pertimbangan normatif dalam ijtihad. Tokoh seperti Abdullahi an-Na‘im dan Muhammad Sa‘id al-‘Ashmawi berpendapat bahwa maslahat harus ditafsirkan ulang untuk merespons konteks modern.
Tantangan-tantangan kontemporer seperti teknologi biomedis, perlindungan data, dan krisis lingkungan memerlukan kerangka maslahat yang lebih elastis. Oleh karena itu, kategori maslahat klasik tidak lagi memadai tanpa pengembangan metodologis yang lebih responsif terhadap isu-isu baru tersebut.
Selain maslahat, Fiqh al-Wāqi‘ hadir sebagai pendekatan yang menekankan pentingnya pemahaman mendalam terhadap realitas sosial. Pendekatan ini menyatakan bahwa penetapan hukum memerlukan analisis empiris terhadap masyarakat sebagai bagian integral dari proses ijtihad.
Fiqh al-Wāqi‘ menolak pendekatan normatif yang sepenuhnya tekstualis, karena hukum yang tidak mempertimbangkan konteks berpotensi menghasilkan keputusan yang tidak relevan. Dengan membaca ulang konteks, pendekatan ini memperkuat dialog antara teks dan realitas.
Perkembangan terkait lainnya adalah teori Fiqh al-Muwāzanāt, yaitu fikih yang berorientasi pada penimbangan maslahat dan mafsadat. Dalam kondisi dunia modern yang sarat risiko, teori ini sangat penting untuk mencapai keputusan hukum yang proporsional dan berimbang.
Teori ini berhubungan erat dengan Fiqh al-Awlawiyyāt yang dipopulerkan Yusuf al-Qaradawi. Melalui konsep prioritas, teori ini membantu menentukan hierarki hukum yang lebih tepat sesuai urgensi kebutuhan sosial yang muncul.
Pendekatan hak asasi manusia dalam hukum Islam juga menjadi bagian penting dalam ranah pemikiran kontemporer. Pemikir seperti Khaled Abou El Fadl dan Tariq Ramadan memperjelas bahwa nilai-nilai universal mengenai martabat manusia dan keadilan inheren dalam maqasid dan dapat menjadi basis etis bagi pembaruan hukum Islam.
Pendekatan HAM ini mengkritisi praktik-praktik hukum tertentu yang dianggap bertentangan dengan prinsip keadilan modern, terutama terkait gender, kebebasan beragama, dan posisi minoritas. Dengan demikian, pendekatan ini membuka ruang dialog konstruktif antara tradisi Islam dan wacana keadilan global.
Selain itu, hermeneutika hukum Islam yang dikembangkan oleh Fazlur Rahman, Mohammed Arkoun, dan Nasr Hamid Abu Zayd memberikan landasan metodologis bagi penafsiran teks yang lebih historis dan kontekstual. Pendekatan ini mengajak pembacaan ulang teks syariat sebagai produk diskursif yang berinteraksi dengan realitas sosial.
Teori hermeneutika ini sering disebut sebagai neo-modernisme karena berupaya mensintesiskan tradisi intelektual Islam dengan metodologi kritis modern. Dengan demikian, hermeneutika memperluas cakrawala interpretasi hukum Islam secara epistemologis dan metodologis.
Dalam ranah hubungan antara syariat dan budaya, konsep Maqāṣid al-‘Urf menjadi salah satu pengembangan signifikan. Akar konsep ini dapat ditelusuri pada pemikiran Ibn Qayyim al-Jawziyyah dan al-Qarafi yang menempatkan adat sebagai pertimbangan hukum yang sah. Pada masa modern, konsep ini diformulasikan secara lebih sistematis oleh Ibn ‘Ashur, Jasser Auda, dan Qaradawi, yang menekankan bahwa budaya lokal merupakan bagian integral dari pencapaian tujuan syariat.
Keseluruhan perkembangan ini menunjukkan bahwa filsafat hukum Islam bergerak menuju formulasi yang lebih inklusif, empiris, dan responsif terhadap dinamika zaman. Berbagai teori yang muncul setelah maqasid klasik; mulai dari maqasid kontemporer, maslahat modern, fiqh realitas, fiqh keseimbangan, pendekatan HAM, hermeneutika, hingga Maqāṣid al-‘Urf menegaskan bahwa hukum Islam merupakan tradisi yang adaptif dan terus berevolusi untuk menjaga relevansinya dalam kehidupan sekarang dan masa mendatang.
M. Ishom el -Saha (Rektor UIN SMH Banten