HumasUIN – Dosen Fakultas Syariah UIN Sultan Maulana Hasanuddin Banten, Dr. Dede Permana, M.A., menjadi salah satu pembicara (invited speaker) pada 1st Zawiyah International Conference on Sharia and Legal Studies (ZICONS) 2025. Konferensi yang diselenggarakan oleh Fakultas Syariah IAIN Langsa, Provinsi Aceh, ini berlangsung pada Senin (17/11/2025) di Aula SBSN IAIN Langsa.
Dr. Dede Permana tampil pada sesi utama sebagai invited speaker bersama lima narasumber internasional dan nasional lainnya, termasuk Prof. Mohd Syakir Mohd Rosdi (Malaysia), Syaikh Abu Muadz Abdul Hay Uwainah (Mesir), Dr. Mowafaq Masud (Lybia), serta Prof. Dr. Iskandar Budiman dan Dr. Muhammad Alkaf dari IAIN Langsa. Sesi ini menarik perhatian dosen, mahasiswa IAIN Langsa, dan peserta seminar yang hadir baik secara luring maupun daring dari lima negara dan 13 provinsi se-Indonesia.
Dalam presentasi yang disampaikan sepenuhnya dalam Bahasa Arab, Dr. Dede Permana mengangkat tema “Daur al Ijtihad al Maqasidi fi Muwajahati at Tahaddiyat al Alamiyah: Fiqh Syeikh Nawawi al Bantani Anmudzajan” (Peran Ijtihad Maqasidi dalam Menghadapi Tantangan Zaman: Studi terhadap Pemikiran Fikih Syekh Nawawi al-Bantani). Tema ini sangat relevan dengan tema besar konferensi, yaitu Revitalizing Sharia for Global Challenges.

Menurut Dr. Dede, Ijtihad Maqasidi (ijtihad yang menjadikan kemaslahatan sebagai tujuan inti syariat) merupakan solusi yang tepat guna merumuskan fikih yang dinamis dan mampu menjawab tantangan zaman. Ia menekankan bahwa ijtihad yang mengabaikan pendekatan maqasid syariah justru akan melahirkan doktrin fikih yang kaku dan kehilangan esensinya.
Ia mencontohkan pemikiran fikih Syekh Nawawi al-Bantani sebagai model ijtihad maqasidi yang dibangun atas prinsip “mewujudkan kemaslahatan dan menghindari keburukan.” Contoh penerapan ini terlihat dalam penetapan hukum puasa bagi orang sakit dan musafir, larangan berhaji jika tidak ada jaminan keamanan dalam perjalanan, serta tata cara salat khauf (dalam kondisi takut/perang). Syekh Nawawi, dalam Tafsir Munir-nya, bahkan menyatakan, “at tha’ah idza adat ila mafsadatin rojihatin wajaba tarkuha”, yang berarti suatu kebaikan yang jika dilakukan justru akan melahirkan keburukan yang lebih besar, maka kebaikan itu wajib ditinggalkan.
Konsep ijtihad maqasid juga diterapkan Syekh Nawawi melalui teori sadz dzara’i (menutup jalan bahaya) sebagai dasar penetapan hukum. Suatu hal yang dibolehkan bisa menjadi terlarang apabila diyakini dapat mendorong terjadinya bahaya, sebab menurut Nawawi, “at thariq ilas syarri syarrun” (jalan menuju keburukan, juga merupakan keburukan). Selain itu, melalui konsep ta’lil al ahkam (alasan penetapan hukum), Nawawi membuktikan beberapa ketentuan fikih yang sejalan dengan akal sehat manusia.
Dr. Dede Permana menyimpulkan bahwa prinsip-prinsip ijtihad maqasid seperti ini sangat penting dipahami dan diterapkan di tengah kemajuan teknologi dan tantangan global yang dinamis. Dengan demikian, hukum Islam akan tampil secara dinamis, selaras dengan kemajuan zaman, sesuai kaidah shalihun li kulli zaman wa makan (relevan untuk setiap waktu dan tempat). Di akhir presentasinya, ia mengajak para hadirin untuk terus menggali kekayaan khazanah pemikiran para ulama Nusantara sebagai inspirasi utama dalam kajian-kajian pemikiran keislaman saat ini.