Menjadi Rohaniawan Intergenerasi

HumasUIN – Ruang spiritual hari ini bukan lagi tempat yang sunyi dan seragam. Ia menjadi titik temu banyak generasi; dari mereka yang tumbuh dengan radio tabung atau tape mini compo sampai yang sejak kecil sudah akrab dengan layar sentuh. Sementara sekarang ini, umumnya kepemimpinan rohani banyak diperankan oleh generasi “pendengar radio atau tape kaset”. Mereka membawa kedalaman tradisi dan disiplin yang kuat, meskipun terkadang kurang luwes menghadapi generasi sesudahnya.

Secara faktual kini, kesenjangan generasi sering kali terasa nyata di dalam ruang spiritual. Cara berdoa berbeda, cara mengekspresikan iman pun tak sama. Dengan alasan itu, Menconi (2020) mengingatkan bahwa sudah saatnya ruang spiritual bergerak ke arah pelayanan intergenerasional; pelayanan yang menghubungkan, bukan memisahkan. Kesenjangan generasi sering kali terasa nyata.

Rumbiak (2020) melihat ini sebagai peluang, bukan masalah. Menurutnya, ruang spiritual perlu membaca realitas intergenerasi sebagai konteks hidup yang harus digumulkan. Dari sana, komunitas bisa belajar membangun pola pelayanan yang lentur, inklusif, dan relevan bagi semua usia.

Prinsip utama pelayanan intergenerasional sederhana: hilangkan sekat. Tidak ada tembok tak terlihat yang memisahkan generasi tua dan muda. Di ruang spiritual yang terbuka, setiap orang—apa pun usianya—bisa bercerita, belajar, dan tumbuh bersama. Ruang seperti ini tak hanya membangun kedekatan, tetapi juga menciptakan suasana di mana iman terasa lebih hidup.

Allen dan Ross (2012) menyuguhkan tiga pilar pelayanan intergenerasional. Pertama, Intergenerational Outlook atau cara pandang yang mengakui bahwa setiap generasi punya karunia unik. Apa yang dimiliki generasi tua bisa memperkaya yang muda, begitu pula sebaliknya. Jika semua mau saling melengkapi, ruang spiritual menjadi lebih kuat dan hangat.

Pilar kedua, Intergenerational Ministry yakni praktik pelayanan yang mendorong komunikasi lintas usia. Ibadah dilakukan bersama, kegiatan sosial digarap bersama, bahkan momen kecil seperti saling menyapa pun bernilai besar. Ketika semua generasi terlibat secara setara, ritme kehidupan spiritual menjadi lebih alami dan penuh warna.

Pilar ketiga, Intergenerational Experience, menekankan pentingnya momen kebersamaan. Kegiatan yang mempertemukan dua generasi atau lebih dalam rangka membangun kedekatan emosional. Dari pengalaman bersama, lahirlah memori yang meneguhkan iman dan memperkuat relasi.

Jika konsep-konsep ini diterapkan dalam pembentukan rohaniawan, lahirlah figur pemimpin yang cair dan fleksibel. Seorang rohaniawan intergenerasional mampu memahami kedalaman tradisi, tetapi juga peka terhadap ritme cepat generasi masa kini. Mereka tidak berdiri di mimbar sebagai figur otoritas semata, melainkan hadir sebagai teman perjalanan.

Generasi muda, terutama Gen Z, membawa energi segar. Mereka terbiasa bergerak cepat, peka terhadap isu kesehatan mental, dan mampu menyerap dinamika sosial dengan cepat. Kreativitas serta keberanian mereka mempertanyakan hal-hal baru bisa menjadi motor pembaruan ruang spiritual. Namun, tanpa bimbingan generasi senior, energi itu mudah terombang-ambing.

Generasi senior, sebaliknya, membawa keteduhan dan kedalaman spiritual yang lahir dari perjalanan panjang. Mereka memiliki cerita dan kebijaksanaan yang tidak bisa dipelajari dalam semalam. Ketika generasi tua dan muda bertemu dalam pola intergenerasional, terjadi pertukaran yang indah: yang tua menguatkan, yang muda menyegarkan.

Kolaborasi lintas generasi ini melahirkan model kepemimpinan rohani yang lebih adaptif dan relevan. Ruang spiritual tidak lagi terjebak dalam pola lama atau terlalu terpaku pada inovasi. Ia bergerak luwes, responsif terhadap perubahan, tetapi tetap setia pada nilai-nilai dasar.

Pada akhirnya, menjadi rohaniawan intergenerasi berarti menciptakan ruang spiritual yang hidup, hangat, dan ramah bagi semua usia. Ini bukan sekadar proses regenerasi, melainkan perjalanan bersama untuk merayakan iman lintas generasi. Di ruang spiritual seperti itu, nilai-nilai rohani tidak hanya diwariskan, tetapi juga dihidupkan kembali, agar lebih segar, lebih dekat, dan lebih bermakna bagi semua.

M. Ishom el Saha (Rektor UIN SMH Banten)


Jl. Jendral Sudirman No. 30
Ciceri, Kota Serang, Provinsi Banten,
Indonesia 42118

Jl. Syech Nawawi Al-Bantani
Curug, Kota Serang, Provinsi Banten
Indonesia 4217

Jl. Jend. Sudirman No.227,
Sumurpecung, Kec. Serang, Kota
Serang, Provinsi Banten Indonesia
42118

 Hak Cipta 2025 – UIN Sultan Maulana Hasanuddin Banten

Email : surat@uinbanten.ac.id No. Tlp : (0254) 200 323