HumasUIN – Kerusuhan yang terjadi di Nepal menyimpan pelajaran penting tentang bagaimana ekspresi ketidakpuasan yang tidak disalurkan secara bijak dapat berujung pada konflik dan chaos. Nepal mengalami fase panjang ketegangan politik dan sosial karena ketimpangan, marginalisasi, dan lemahnya ruang dialog antara rakyat dan pemerintah. Dalam konteks Indonesia, peristiwa ini harus menjadi refleksi agar kebebasan berpendapat dan berekspresi tidak disalahgunakan, melainkan dijalankan secara bertanggung jawab untuk memperkuat demokrasi.
Nepal menunjukkan bahwa ketika ruang ekspresi rakyat disumbat atau tidak direspons secara adil, masyarakat akan mencari cara alternatif untuk bersuara, termasuk melalui kekerasan. Namun, ketika ekspresi dilakukan tanpa kebijaksanaan, dengan retorika yang membakar emosi dan tanpa arah solusi, hal itu hanya memperbesar perpecahan. Di Indonesia, kebebasan berpendapat dijamin oleh konstitusi, tapi tanggung jawab moral dalam menyampaikan pendapat perlu terus ditekankan agar demokrasi tidak berubah menjadi anarki.
Media sosial di Indonesia, misalnya, telah menjadi ruang ekspresi yang luar biasa luas, tetapi juga rawan disalahgunakan. Banyak pihak melampiaskan kemarahan tanpa dasar, menyebarkan hoaks, atau menghina pihak lain atas nama kebebasan berekspresi. Belajar dari Nepal, ekspresi yang tak disertai literasi politik dan empati sosial justru memperkeruh keadaan dan membuka celah bagi konflik horizontal. Indonesia butuh budaya berpendapat yang lebih sehat, terbuka untuk perbedaan, dan menjunjung etika komunikasi.
Elit politik dan tokoh publik juga memegang peran besar dalam membentuk iklim ekspresi di masyarakat. Di Nepal, elit kerap memperuncing narasi identitas demi kepentingan jangka pendek, yang akhirnya memecah belah bangsa. Jika elit Indonesia ikut-ikutan memanfaatkan kebebasan sebagai alat propaganda dan provokasi, maka yang terjadi bukanlah demokrasi sehat, melainkan polarisasi yang membahayakan persatuan. Sudah saatnya elit menunjukkan keteladanan dalam berdialog dan menghormati perbedaan.
Bagi masyarakat Indonesia, pelajaran penting dari Nepal adalah bahwa berpendapat bukan sekadar menyuarakan isi hati, tetapi juga soal tanggung jawab membangun. Setiap pendapat harus dilandasi niat mencari solusi, bukan hanya menambah keruh suasana. Demonstrasi, kritik di media sosial, atau diskusi publik harus diarahkan untuk memperkuat ruang demokrasi, bukan menjadi saluran kemarahan yang tak terarah. Ekspresi harus menjadi jembatan, bukan jurang pemisah.
Pendidikan politik dan literasi media menjadi kunci. Di Nepal, minimnya pendidikan politik menyebabkan rakyat mudah terprovokasi dan terseret dalam konflik elite. Indonesia pun menghadapi tantangan yang sama—di mana sebagian masyarakat belum mampu memilah informasi, memahami proses politik, atau menyampaikan pendapat dengan argumentatif dan damai. Investasi negara dan masyarakat sipil dalam pendidikan kritis sangat penting untuk mencegah lahirnya ekspresi yang destruktif.
Kebebasan berekspresi bukan berarti bebas tanpa batas. Dalam negara demokratis, kebebasan selalu berjalan berdampingan dengan tanggung jawab. Menghina simbol negara, memprovokasi kekerasan, atau menyebarkan kebencian bukan bagian dari kebebasan, tetapi pelanggaran atas prinsip demokrasi itu sendiri. Di sinilah pentingnya aturan yang adil dan lembaga yang tegas namun tidak represif, agar ekspresi tetap dalam koridor hukum dan etika.
Pengalaman Nepal juga mengingatkan bahwa ruang dialog harus terus dibuka. Ketika rakyat merasa didengarkan dan diberi tempat untuk menyampaikan pendapat secara aman dan bermartabat, potensi kerusuhan bisa diminimalkan. Pemerintah Indonesia, baik pusat maupun daerah, perlu aktif menciptakan forum-forum partisipatif yang inklusif, bukan hanya untuk formalitas, tetapi benar-benar menjadi saluran aspirasi yang efektif.
Akhirnya, belajar dari Nepal, kita harus sadar bahwa kebebasan berekspresi adalah kekuatan besar dalam demokrasi—namun bisa menjadi bumerang jika tidak digunakan secara bijak. Indonesia, dengan segala keberagamannya, harus membangun budaya berpendapat yang cerdas, santun, dan bertanggung jawab. Hanya dengan itu, demokrasi bisa tumbuh sehat dan menjadi alat pemersatu, bukan pemecah.
M. Ishom el Saha