HumasUIN – Era digital telah menciptakan kelas baru: kereprotarian. Mereka adalah pengguna internet aktif, namun rentan secara ekonomi dan informasi. Meski terhubung, mereka tidak benar-benar berdaya.
Kereprotarian muncul dari akses yang timpang terhadap teknologi, literasi digital, dan peluang ekonomi. Mereka memiliki perangkat, tapi tidak cukup pengetahuan atau kendali atas konten dan data.
Kondisi ini menjadikan mereka sasaran empuk algoritma, iklan, dan disinformasi. Bukan sebagai subjek, tapi objek dalam ekosistem digital yang makin kompleks.
Akibatnya, banyak dari mereka mudah terjebak dalam ruang gema. Informasi yang dikonsumsi sempit, berulang, dan sering menyesatkan. Ini memperkuat keyakinan, bukan memperluas wawasan.
Inilah salah satu pemicu polarisasi sosial. Bukan karena perbedaan pendapat, tapi karena distribusi informasi yang tidak setara. Ketimpangan pengetahuan melahirkan jurang pemahaman.
Dalam ruang digital, identitas menjadi komoditas. Semakin keras suara, semakin tinggi visibilitas. Kereprotarian yang mencari eksistensi kerap terseret ke dalam konflik simbolik tanpa arah yang jelas.
Solusinya bukan memutus koneksi, tapi memperkuat literasi. Bukan sekadar tahu cara pakai, tapi paham cara kerja. Pengguna harus mampu memilah, bukan sekadar menelan.
Kita tidak bisa berharap semua jadi ahli digital. Tapi kita bisa mendorong kesadaran kolektif. Polarisasi tidak akan hilang, tapi bisa diredam jika kita berbagi kontrol atas ruang digital.
Kereprotarian digital bukan takdir. Ia lahir dari sistem, dan sistem bisa diubah. Tapi perubahan dimulai dari pengakuan: bahwa keterhubungan tidak selalu berarti kesetaraan.
M. Ishom el-Saha (Rektor UIN SMH Banten)