HumasUIN – Wakil Rektor II UIN Sultan Maulana Hasanuddin Banten, Dr Ali Muhtarom, mendorong aparat penegak hukum memperkuat pendekatan soft power dalam pembinaan narapidana terorisme (napiter) dan eks napiter.
Menurutnya, pendekatan berbasis pengakuan dan pemulihan sosial itu penting untuk mendorong proses transformasi perilaku agar mereka dapat kembali hidup inklusif di tengah masyarakat.
Pandangan tersebut disampaikan Dr Ali Muhtarom dalam kegiatan Anev Anggaran TUKBINJARSUS dan Galsus Ditintelkam Polda Banten Triwulan IV Tahun 2025 di Kota Serang, Banten pada Jumat (28/11/2025).
Dr. Ali Muhtarom menjelaskan bahwa pendekatan soft power berkaitan dengan mitigasi sebagai langkah pencegahan dini terhadap penyebaran paham intoleransi, radikalisme, dan terorisme. Ketiga istilah tersebut, kata dia, memiliki makna berbeda namun saling terkait, dengan intoleransi kerap menjadi pintu masuk menuju radikalisme hingga aksi teror.
“Tidak semua tindakan intoleran berujung pada radikalisme atau terorisme. Tetapi intoleransi sering kali menjadi fondasinya,” ujar Dr Ali Muhtarom.
Menurut Dr Ali, pemerintah saat ini sudah menjalankan sejumlah program pencegahan, namun masih banyak kendala di lapangan. Karena itu, diperlukan strategi yang lebih komprehensif agar upaya deradikalisasi berjalan optimal.
Dirinya menyebut bahwa program deradikalisasi selama ini cenderung bersifat struktural dengan mengandalkan regulasi, kelembagaan, dan pendekatan hard power seperti penegakan hukum. Padahal, upaya yang hanya menekankan aspek represif tidak cukup memutus akar persoalan.
“Pendekatan soft power jauh lebih mendasar karena menyasar transformasi perilaku dan pemikiran. Pendekatan ini membantu napiter dan eks napiter melepaskan diri dari kelompok pemikiran radikal dan kembali hidup secara inklusif,” ujarnya.
Soft power, lanjut Dr Ali, bekerja dengan cara mencegah munculnya kembali “sumber api” radikalisme melalui pembinaan, pendampingan, dan penguatan literasi keagamaan yang moderat.
Dalam kesempatan itu, Dr Ali juga menekankan pentingnya dua konsep utama dalam deradikalisasi: disengagement dan deideologization.
“Disengagement berarti mendorong individu radikal untuk mereorientasi diri melalui perubahan sosial-kognitif. Dengan proses ini, mereka meninggalkan norma, nilai, dan aspirasi lama untuk menerima pandangan baru yang lebih inklusif,” ucapnya.
Sementara deideologisasi, lanjut Dr Ali, adalah upaya menghapus pemahaman bahwa agama dapat dijadikan ideologi politik atau pembenar tindakan kekerasan. Agama, kata Dr Ali, seharusnya kembali dipahami sebagai sumber nilai-nilai luhur yang menumbuhkan perdamaian dan moderasi.
“Karena radikalisme berakar pada ideologi, maka penanganannya harus melalui pendekatan rekognisi dan penguatan metodologi pemahaman keagamaan yang mendalam dan luas,” tutur Dr Ali Muhtarom.
Melalui pendekatan soft power, Dr Ali meyakini bahwa langkah-langkah tersebut bukan hanya mencegah penyebaran paham intoleran, tetapi juga membantu membangun ruang sosial yang aman, inklusif, dan produktif bagi para mantan napiter yang kembali ke masyarakat.