Islam dan Ketahanan Pangan: Mengurai Masalah Food Spillage dan Food Waste

HumasUIN – Indonesia menempati posisi yang mengkhawatirkan dalam peta global limbah pangan. Berdasarkan survei dari Economist Intelligence Unit (EIU), Indonesia adalah salah satu penghasil food loss and waste terbesar, sekitar 300 kilogram per orang per tahun, menempati peringkat kedua setelah Arab Saudi.

Fenomena food spillage yakni ceceran bahan pangan dalam proses distribusi dan pascapanen dan food waste atau sisa makanan di tingkat konsumen menjadi bagian tak terpisahkan dari persoalan ini. Ceceran bahan pangan dan makanan sisa ini secara global diperkirakan mencapai sekitar 13 persen dari total kebutuhan pakan masyarakat dunia.

Angka 13 persen itu sesungguhnya membuka peluang besar: jika persoalan ini dapat diatasi dengan baik, dunia bisa meredam krisis pakan untuk sebagian populasi yang saat ini kekurangan pangan. Transformasi dari limbah menjadi sumber bukan sekadar pembuangan membawa harapan untuk menutup celah ketahanan pangan global.

Di tingkat lokal, pola konsumsi rumah tangga berkontribusi besar pada food waste. Rumah tangga di Indonesia menyumbang sebagian besar sampah makanan, di antaranya karena kebiasaan menyajikan porsi terlalu besar atau menyimpan makanan lebih dari yang bisa dihabiskan.

Sektor jasa makanan seperti restoran dan hotel juga tidak luput dari masalah ini. Prasmanan misalnya, menjadi arena konsumsi berlebihan: pengunjung mengambil lebih dari yang mereka butuhkan, dan akhirnya banyak makanan tersisa yang dibuang.

Di pasar tradisional, bahan pangan segar seperti buah dan sayur tak laku karena cacat fisik atau bentuk kurang menarik. Padahal, nilai gizinya tetap tinggi. Pedagang sering memilih membuang barang ini demi menjaga standar tampilan agar cepat terjual.

Sementara itu, di sektor pertanian, kerugian terjadi sejak pascapanen. Teknik panen, penyimpanan, dan transportasi yang belum optimal menyebabkan sebagian hasil panen tercecer atau rusak sebelum sampai ke konsumen.

Akar persoalan ini bukan hanya soal limbah, tetapi juga soal penghargaan terhadap rezeki dan sumber daya. Setiap butir makanan yang hilang sekaligus mewakili jerih payah petani, lahan, air, dan energi yang telah dikeluarkan untuk memproduksinya.

Dari sudut lingkungan, makanan yang terbuang berkontribusi besar pada emisi gas rumah kaca. Bahan pangan yang membusuk di tempat pembuangan menghasilkan metana, gas yang jauh lebih kuat dalam pemanasan global dibanding karbondioksida.

Dalam perspektif Islam, pemborosan (tabzdir) terhadap makanan dilarang. Ajaran Islam menekankan kesederhanaan, rasa syukur atas rezeki, serta kewajiban menjaga amanah. Pangan yang dibuang tanpa manfaat berarti melanggar prinsip menghargai rezeki dan menjaga keberlanjutan.

Islam juga mengajarkan bahwa makanan adalah amanah dari Tuhan, yang harus digunakan sebaik mungkin. Membiarkan sisa makanan membusuk atau hilang sama saja dengan mengabaikan kepercayaan atas rezeki yang diberikan.

Maka dari itu, penanganan food spillage dan food waste bukan hanya isu efisiensi pangan, tetapi juga tanggung jawab moral dan ekologis. Dengan mengurangi pemborosan, umat Islam bisa berkontribusi nyata terhadap ketahanan pangan dan mitigasi krisis iklim.

Tantangan bagi Indonesia kini adalah membangun kesadaran kolektif yang berakar pada nilai agama dan budaya. Di sinilah peran keluarga, pemimpin masyarakat, ulama, dan pengambil kebijakan sangat penting: agar setiap pihak bertanggung jawab dalam menjaga setiap butir pangan agar tidak menjadi beban, tetapi berkah bagi semua. Wallahu a’lam

M. Ishom el Saha (Rektor UIN SMH Banten)


Jl. Jendral Sudirman No. 30
Ciceri, Kota Serang, Provinsi Banten,
Indonesia 42118

Jl. Syech Nawawi Al-Bantani
Curug, Kota Serang, Provinsi Banten
Indonesia 4217

Jl. Jend. Sudirman No.227,
Sumurpecung, Kec. Serang, Kota
Serang, Provinsi Banten Indonesia
42118

 Hak Cipta 2025 – UIN Sultan Maulana Hasanuddin Banten

Email : surat@uinbanten.ac.id No. Tlp : (0254) 200 323