22 Apr

KAFIR ALAMI : STEREOTIPE DI BADAI CORONA

       Badai virus corona (Covid 19) yang turut melanda di Indonesia hampir satu bulan lebih belum menunjukkan adanya tingkat penurunan. Dari seluruh 34 propinsi yang sudah dikunjungi virus corona, DKI merupakan wilayah yang paling banyak dikunjungi virus. Disusul urutan kedua Jawa Barat dan terakhir Banten urutan ketiga.

       Kapan virus corona itu pergi meninggalkan Indonesia belum dapat diprediksi. Korban virus terus bertambah. Berbagai upaya sekalipun agak terlambat mulai dilakukan dengan kompak. Pembentukan satgas penanggulangan bencana virus sejak dari pusat hingga daerah terbentuk. Pembatasan bersekala besar di daerah, terutama di DKI, telah dikerahkan. Tingkat partisipasi dan kontribusi masyakat sudah mulai terlihat di beberapa lapangan.

       Namun di luar itu semua, tingkat kesadaran umat terkesan masih menyisakan pandangan yang sumbang terhadap bencana corona. Diantaranya masih didapati pihak yang menggunakan pandangan stereotip terhadap hadirnya bencana corona. Pandangan ini mengemuka bahwa corona adalah azab Tuhan. Ia sengaja diutus di dunia sebagai tentara Tuhan yang diberi tugas guna menumpas/mengazab manusia yang telah berbuat keserakahan dan kerusakan di bumi.

       Corona juga, menurut pandangan kaum splinter ini, buatan orang-orang kafir yang tanpa disadari telah menghukum orang - orang kafir sendiri. Terbukti yang paling menelan banyak korban dari bahaya virus corona adalah negara- negara yang bermayoritas kaum kafir. Padahal realitasnya , seperti telah diungkap Azyumardi Azra, yang tertimpa korban bencana virus juga termasuk umat islam yang tinggal di negara tersebut.

       Stereotipe kaum splinter/ sempalan agama ini --kalau tidak dikatakan berpengaruh-- didapati juga di kalangan umat yang manganut ajaran mainstream. Akibatnya antara kaum splinter dan sebagian arus mainstream melakukan konspirasi tak sengaja ( unintended conspiration) untuk tidak mengindahkan protap kesehatan yang ditetapkanWHO dan Pemerintah. Bahkan fatwa yang dikeluarkan lembaga otoritas keagamaan seperti MUI pun kerap diabaikan.

       Aturan WHO hasil dari kajian ilmiah , misalnya, tentang social distancing ( jaga jarak) , menyuci tangan dengan senitizer, atau dengan sabun dan perintah menggunakan masker hampir banyak yang tak diindahkan mereka. Bagi kelompok yang mengabaikan social distancing, mereka menunaikan salat berjemaah dengan melibatkn jumlah masa besar dan tanpa memakai masker . Mereka berkeyakinan masjid/gereja adalah rumah Tuhan. Pasti dilindungi Tuhan dari segala bala dan bahaya. Termasuk virus tidak mungkin menyerang masjid/greja dengan menimpakan penyakit pada Hamba Tuhan yang sedang salat mentaati perintah-Nya. Menyuci tangan dengan berwudu tanpa sabun, menurut mereka, lebih afdhal dan lebih terlindungi dari segala serangan virus corona karena di air wudu ada kekuatan suci/mu'jizat tangan Allah.

      Pandangan stereotip ini bertentangan dengan kaidah ilmiah dan hukum sunatullah yang merupakan ciptaan dan kehendak Tuhan. Dalam ajaran agama, sebagaimana ditulis Murtadha Muthahari dalam bukunya al - Adlu al- ilahi , terdapat tiga keadilan/ kehendak ilahi/ Tuhan, yaitu at-Tasawa ( التساوى), at-Tawazun (التوازن) dan Huquq al-Ria'yah wa - al - Afrad (حقوق الرعاية والافراد ).

At- Tasawa adalah tingkat persamaan anatara manusia tidak boleh dibedakan dalam menuntut atau mendapat hukuman. Besar dan yang kecil. Kuat dan yang lemah. Kaya dan miskin. Semuan di meja hukum mendapat hukuman yang sama sesuai dengan kesalahannya. At-Tawazun merupakan bentuk keseimbangan atau hukum berpasangan yang harus ada antara yang lemah dan yang kuat, positif dan negatif. Sehat dengan yang sakit.

       Hukum pasangan dihadirkan Tuhan dalam rangka terbentuknya kerjasama kemanusiaan. Bagi yang kaya berkebutuhan pada buruh/tenaga kerja /pembantu. Demikian sebaliknya. Huquq al-Ria'yah wa al- Afrad adalah hak proporsional yang diterima sesuai posisi, tempat dan profesinya. Umat islam maupun kafir diberi hak ilmu atau kekayaan karena sesuai prestasinya. Tidak dibeda- bedakan.

       Semua kehendak ilahi di atas dihadirkan sebgai bentuk keadilan Tuhan terhadap mahluk-Nya. Dalam istilah lain disebut dengan hukum sunatullah. Yaitu hukum yang diciptakan Tuhan yang sepanjang zaman tak mungkin berganti dan berubah (Q.S 35:43). Hukum sunatullah ini sebagai tanda kebesaran Tuhan yang terdapat pada alam ciptaan Tuhan yang disebut dengn ayat-ayat kauniyah setelah tanda kebesaran Tuhan yang terdapat pada Al- Quran yang disebut dengan ayat-ayat Quraniyah. Quraniyah mencakup ajaran Tauhid, Ahlak dan keadilah Tuhan. Hukum Quraniah merupakan hukum paling asasi guna mempersiapkn kepergian manusia dari dunia menuju akhirat berdasarkan capaian islam dan imannya.

       Hukum sunatullah adalah tanda-tanda kebesaran Tuhan yang terdapat pada alam. Hukum ini dititipkan kepada alam cosmos sebagai hukum berpasangan yang bersifat alami. Yaitu berpasangan antara positif dan negatif. Hukum pasangan yang selalu tetap dan tak pernah berubh. Dalam kontek hukum alam/sunatullah, manusia berupaya memaksimalkan yang postif/maslahat/selamat dan meminimalkan yang negatif/berbahaya.

       Sikap (islami) pada tingkat alam ini berlaku netral /sama bagi ras, golongan atau agama apa saja. Siapapun yang melanggar hukum kepasangan ini pasti dihukum Tuhan seketika. Sebaliknya , siapapun yang patuh (tunduk pada hukum kepasangan ini) pasti diberi pahala dalam bentuk keselamatan. Seorang Yahudi, Keristen, Islam, Budha dan Hindu menyebrang ke Samudra Pasifik dari Vancouver (Kanada) menuju Hongkong dengan berenang ( tanpa alat penyeimbang) ia pasti dihukum Tuhan dalam keadaan tak baerdaya/tenggelam dan mati. Dia telah berbuat kafir alami dan zalim karena mengingkari dan merusak hukum keseimbangan. Sebaliknya bila seorang atheis menyebrangi samudra dengan kapal besar /pesawat, maka dia selamat dan menjadi muslim karena mematuhi hukum berpasangan sebagai hukum terbesar /sunatullah yang mengatur hukum kosmos.

      Hal yang sama dalam kondisi badai corona, apabila dijumpai seorang pasen corona dari umat beragama krena tidak mematuhi hukum sunatullah protap kesehatan yang diterapkan WHO, berarti ia dipandang kafir alami. Apalagi penularan virus pada sang pasen terbukti karena yang bersangkutan tidak mematuhi/ mengingkari social distancing. Ia tertular virus corona karena kerap berkerumunan di tempat huburan malam , di pantai atau di masjid tanpa jaga jarak dan tidak menggunakan masker pada saat salat berjamaah yang melibatkn masa cukup besar.

       Tegasnya pasen dikatagorikan kafir alami karena yang bersangkutan tidak mengindahkan hukum sunatullah sebagai hukum berpasangan/ keseimbangan anatara pisitif dan negatif. Pasen kafir alami ini tidak berupaya memaksimalkan yang positif dan meminimalkan yang negatif. Tidak sedikit ayat al-Quran dan hadis yang memerintahkan kita untuk menjaga hukum keseimbangan ini. Misalnya ayat Quran berpesan agar kita menghindari dari hal- hal yang membahayakan/madarat. Hadist Nabi sangat tegas memerintahkan agar kita tdak mendekati wabah yang hinggap di suatu negeri dan jangan berlari dari wabah yang hinggap di tempat kita. Bahkan ada hadis yang paling tegas memerintahkan kepada umat untuk menunaikan salat di rumah apa bila kondisi tidak memungkinkan salat di masjid krena wabah atau hujan.

       Namun kafir alami bukanlah kafir hakiki yang menyebabkan kita keluar dari ajaran agama yang dianut. Kafir alami adalah kafir yang disebabkan seseorang tidak mematuhi hukum keseimbngan positif negatif yang berdasarkan kaidah/ protap saintifik yang telah dibuktikan kebenarannya. Misalnya memakai alat kesehatan masker atau meminum obat untuk menghilangkan virus sesuai rekomndasi dokter sebagai ahlinya. Akan tetapi, ia tetap berdosa karena ketidakpatuhan dengan protap kesehatan menyebabkan keselamatannya terancam.

       Dari uraian ini sesungguhnya diharapkam bagi semua pihak agar tetap proporsional menghadapi bencana virus corona yang belum kunjung padam di bumi yang kita cintai ini. Untuk itu, agar kita selamat dari bahaya virus yang makin mengganas. Tidak ada jalan lain, kita semua mesti komitmen dengan sadar, solid dan istiqamah mentaati protap kesehatan baik yang ditetapkan oleh lembga otoritas dunia seperti WHO maupun oleh tingkat nasional /pemeritah dan lokal. Semua protap itu tentunya sudah dipastikan tidak bertentangan dengan ajaran agama. Semoga sebelum ramadhan tiba virus corona akan segera melenyap sirna. Amien .