11 Mar

PAKAIAN TUHAN

 

(Merenungi Kegundahan Intelektual Yudian Wahyudi)

Oleh Prof Dr K.H. Fauzul Iman, MA

Gonjang ganjing tentang pakaian yang memakai cadar kini telah mengemuka. Pasalnya seorang sosok intelektual, Yudian Wahyudi selaku Rektor UIN Sunan Kalijaga Jogjakarta akan melarang mahasiswinya mengenakan cadar. Dengan adanya larangan seperti ini dilingkungan kampus UIN, mengundang reaksi dari berbagai kalangan, bagai disambar petir. Yudian dikecam salah seorang ulama sebagai orang gila. Menteri Agama, Lukman Hakim Saefuddin sempat menyatakan bahwa pakaian cadar adalah hak keyakinan seseorang. Bahkan Gubernur Jogja, Sultan Hamengku Buwono X sendiri  ikut berbicara agar rencana larangan berpakaian cadar bagi masasiwa UIN Jogjakarta dievaluasi kembali.

Tidak sedikit tulisan artikel yang ada di media sosial bernada menyayangkan dan menghujat kebijakan Yudian. Hemat saya, langkah Yudian sebagai Rektor yg mendalami Filsafat Hukum Islam logis bila yang bersangkutan merasakan kegalauan intelektual menyaksikan pakaian bercadar membuncah di lingkungan kampusnya.

Dalam beberpa kesempatan, Yudian menyatakan bahwa rencana larangan bercadar diberlakukan bagi mahasiswi untuk mengantisipasi adanya arus radikalisme merambah ke kampus. Antisipasi ini dalam diskursus filsafat hukum islam dikenal dengan terminologi syad al- dariah, yaitu sebuah upaya guna membendung lahirnya malapetaka yang lebih besar.

Secara ideal tujuan ini tidak keliru, karena fakta sepintas terlihat beberapa istri teroris mengenakan cadar setelah suaminya ditangkap. Akan tetapi, fakta ini secara ilmiah masih perlu ekplorasi yang lebih detail dan mendalam. Adalah tidak arif, bila Yudian Wahyudi selaku rektor melarang mahasiswinya bercadar dengan dasar prediksi imajinatif tanpa terlebih dahulu menemukan pelanggarn signifikan yang akan dan telah dilakukan mahasiwi bercadar.

Dalam kontek ini dapat dipahami pernyataan egaliter Mentri Agama RI lukman Saefuddin  tentang hak keyakinan seseorang dalam bercadar dan seruan egaliter Gubernur Jogjakarta Hamengkubuwono X agar larangan bercadar di UIN Sunan Kalijaga dievaluasi kembali. Seruan egaliter dua tokoh ini akan semakin menunjukkan rasionalitasnya apabila kebijakan Rektor UIN Sunan Kalijaga Yudian Wahyudi yang akan melarang pakaian bercadar itu ditolak oleh kumunitas mahasiswi bercadar dengan alasan yang sama yaitu menggunakan terminilogi syad al-dariah. Dengn kata lain, argumntasi kembar ini terjadi karena pakaian bercadar yang dikenakan para mahasiswi itu juga bertujuan untuk membendung malapetaka yaitu berupa fitnah dan gangguan dari lawan jenis.

Konsekuensi dari argumen kembar inilah yang kemudian akan semakin menguatnya penolakan dari lembaga dan komunitas Islam lainnya. Bahkan, bukan tidak mungkin tuntutan penolakan datang dari lembaga sekuler semacam komnas Ham dan perempuan. Suasana makin tidak kondusif bila benturan terjadi antara lembaga pendikan Islam dengan komunitas dan lembaga lain yang juga Islam menolak kebijakan Rektor UIN Kalijaga, Yudian Wahyudi. Mereka pastinya akan menggugat balik agar kebijakan larangan itu lebih pantas diberlakukan kepada para mahasiswi pemakai celana jeans yang membentuk tubuh ketat pengundang syahwat bukan kepada pemakai cadar yang berniat taat. Inilah terjadi apa  yang disebut oleh Sadik An-Nayhum, pakar Perbandingan Agama dari Universitas Kairo, dalam buku monumentalnya yang terkenal sebagai Islam Melawan Islam ( Baca :  اسلام ضد الاسلام).

Kini terpulang pada langkah Rektor UIN Sunan Kalijaga, apakah ia akan meneruskan melakukan pembinaan kepada para mahasiswi bercadar untuk kemudian membuat kebijkan larangan bercadar yang berkonsekuensi akan menerima kondisi saling  bentur antara sesama komunitas muslim dan malah mungkin akan  berhadapan dengan lintas komunitas semisal institus HAM perempuan yang juga tidak mustahil akan ikut bicara membelanya. Ataukah ia akan melakukan rekontemplasi kegundahan intelektualnya dengan mengembalikan simbolisme pakaian bercadar ke dalam subtansi pakaian takwa, pakaian Tuhan.