06 Jun
1928

MENYALAKAN SINAR RAMADHAN

Umat Islam menyambut kembali awal Ramadhan 1437 H dengan bahagaia. Setelah sebelumnya mereka terasa dahaga menantikan bulan termulia. Bulan bagi umat beriman yang kedatangannya tiada dicela, sungguh kini hadir menawar sukma pahala yang tiada terhingga.  Batin yang selalu menyala di dekap Ramadhan nan bercahaya, mari  kita halau ribuan lara dengan menerima segala konsekwensi  perintah Ilahi yang  menghampiri Ramadhan suci.  Lerailah segala tendensi semu yang menghampiri  lalu menciderai niat ibadah Ramadhan.

Guna tetap menyalakan sinar cahaya Ramadhan di alam kalbu insani, maka penyambutan terhadap datangnya Ramadhan  perlu segala persiapan yang memperkuat dan mematri hati. Pertama, meyakini adanya Allah sebagai Zat Yang Maha Ghaib. Kedua, Menghargai/menghormati eksistensi manusia sebagai mahluk dan khalifah . Ketiga, meyakini adanya hari akhir.

 Menyakini adanya Tuhan Yang Ghaib tidak lain sebagai  daya kepercayaan tangguh bahwa Puasa pada hakikinya perintah Tuhan, bukan kehendak manusia. Ini berarti bahwa puasa bukanlah kamuflase  atau buatan manusia melainkan murni berasal dari wahyu. Sebagai yang berasal dari wahyu, ibadah puasa semestinya diletakkan olah pelakunya ke dalam ruang yang berdaya jangkau  perspektif. Bukan pada ruang fragmentaris yang memperuah eporia kerlap-kerlip ornament tetapi  redup dalam cahaya kearifan dan bertoreh keburukan dalam kebijakan. Akibatnya suasana berpuasa hanya mempertontonkan ritual ibadah dalam klimaks gerombolan dan tumpah ruahnya peribadahan sesaat (duniawi).

Setelah bulan Ramadhan  usai, gelora  ibadah itu  tak meluap lagi bagai air laut terkena rob. Untuk mengindari ibadah puasa agar tidak tergerus rob, komitmen kuat pada keyakinan Tuhan hendaknya menjadi titik niat di awal bagi pelaku puasa sebelum terjatuh pada kegersangan dan hingar-bingarnya ramadhan yang tidak perspektif. Titik niat seperti inilah yang dapat menyalakan api ramadhan . “ Berapa banyak umat manusia, sabda Nabi SAW,  yang berpuasa hanya tersandera oleh rasa haus dan dahaga”

Eksistensi manusia sebagai mahluk dan sekaligus khalifah patut disadari dalam menyiapi ibadah puasa. Sebagai makhluk, manusia sangat dibatasi oleh ruang  dimanapun eksis dan sebagai khalifah ia dipercaya Tuhan untuk mengelola ruang tersebut. Ruang dengan segala dimensi dan kompleksitasnya ditempati manusia guna membangun eksistensinya dengan segala daya demi suatu karir kehidupan. Namun perlu diingat bahwa ruang yang terbatas itu tidak mungkin dapat dilampaui oleh apa maunya manusia yang notabenenya makhluk maha terbatas.

Nafsu apapun yang dikejar oleh mahluk manusia berupa karir kehidupan yang berjubelkan segala kemewahan hedonis harus bertimbun total  tiada mungkin tercapai.  Mahluk manusia dihalau kematian dahulu sebelum keserakahan itu direbutnya secara totalitas. Dalam kontek ini, ibadah puasa hadir menyadarkan kembali sifat kekhalifahan manusia untuk memperkuat kontrol dan kendali nafsu agar tidak lengah dalam jebakan nafsu serakah. Ramadhan, sekali lagi, di era ritualitas peribadahan ini tampil menyalakan kembali Jiwa kekhalifahan manusia. Tanpa itu, sebagaimana firman Allah, tiada mungkin manusia mampu mencapai angan anganya  menguasai sejagat bumi dan langit.  

                Kesadaran datangnya kematian termasuk bagian pembangkit manusia dalam memperteguh ketulusan beribadah puasa. Kematian bentuk empiris yang akan berkunjung ke siapapun manusianya tanpa bisa dideteksi dengan tepat. Inilah hakekat pertemuan jasadi dengan non jasadi (Tuhan) akan terwujud kelak. Siapapun dan apapun perangkat teknologi canggih dan nalar supra  ilmiah tiada mugkin mampu menghentikan kematian itu. Bahkan yang terdahsat berupa hari akhir (kiamat) makin menjepit dan mematahkan segala bentuk keberdayaan insaniah.  Dalam serba ketidakberdayaan yang amat niscaya melekat pada kemahlukan inasiah yang sangat terbatas ini, tentu saja manusia tidak akan bisa menguasai segenap gelora nafsu berdasarkan kemauannya yang amat terbatas. Puasa sesungguhnya hadir hanyalah merefleksika kesdaran manusia yang amat terbatas, Manusia harus menghentikan kecongkakakan, kerakusan, dominasi kekuasaan  dan keserakahan konsumtif .

                Dominasi kekuasaan baik keserakahan, kecongkakan, penguasaan  materi  hanyalah milik Tuhan. Manusia bukanlah Tuhan tetapi materi yang akan musnah karena itu barang yang musnah tidak mungkin  bertahan mendominasi segala  kebendawian yang bakal musnah. Hanya Tuhanlah yang melampaui kekuasaannya mengurusi dan mengendalikan  kebendawian dunia dengan baik dan adil. Itu sebabnya puasa diwajibkan kepada manuia agar manusia berpuasa seperti Tuhan sehingga ia punya sifat-sifat Tuhan yang bijak, arif,  adil dan beres dalam mengelola dan mengatur kehidupan dunia yang terbatas ini. Selamat berpuasa!